10 Mei 2007

Masa Kecil, Sengsara...???

Malam ini sepulang dari kantor aku berkunjung ke rumah teman kantorku (Adhi), rencana mau memoles si Blacky (motor kesayangan), karena kebetulan dia punya pengalaman untuk itu. Sesampai di rumahnya ternyata mati lampu. Gelap gulita.

Tidak lama, Bapak temanku itu keluar membawa sebuah pelita kecil yang menggunakan minyak tanah sebagai bahan bakar. Kemudian ia kembali masuk ke dalam dan temanku masuk kamarnya entah ngapain. Aku tinggal duduk sendiri di ruang tamu memandangi pelita kecil itu sekian lama.

Entah mengapa, memandangi pelita kecil itu membawa anganku kembali ke masa kecilku. Dan sesampainya di kantor aku tertarik untuk menulis kisah itu. Masa yang tak terlupakan yang kulakoni di Butta Panrita Lopi Bulukumba yang berjarak sekitar 500 km dari tempatku saat ini. Masa kecilku di temani oleh temaram pelita kecil karena aku tinggal di sebuah desa yang sangat terpencil. Listrik saat itu belum masuk (saat ini sudah ada) dan jalannya masih dari tanah yang belum terlapisi aspal sehingga kalau hujan, tak satupun mobil angkutan yang berani melewatinya, itu pun jumlahnya hanya beberapa. Desa itu bernama Desa Tibona Kecamatan Bulukumpa Kabupaten Bulukumba. Padahal komoditi hasil alam di tempat ini sangat menjanjikan untuk Pendapatan Asli Daerah (PAD). Tetapi hingga kini perkampungan itu masih terlupakan oleh pemerintah atau bahkan dianggap tidak ada dalam peta. Saat aku masih tinggal di tempat itu, babi hutan masih merupakan pemandangan yang tak asing dijumpai setiap harinya atau bahkan boleh dibilang menjadi teman bermain.

Aku tidak terlahir di tempat itu, aku terlahir di kecamatan lain yaitu Kecamatan Herlang di sebuah gubuk yang tak layak disebut rumah di tengah kebun yang dinaungi pohon mangga “macan” yang sangat besar. Kondisinya tidak kalah menyedihkan. Karena letaknya di kebun sehingga rumahku tidak bertetangga dengan siapa pun. Gubuk reot itu berdiri sendiri. Saat usiaku menginjak 4 tahun, Tuhan semakin menyengsarakan keluargaku dengan merampas gubuk kecil itu dengan lalapan api. Sejak itulah kedua orang tuaku yang hanya memiliki aku sebagai harta satu-satunya terlunta-lunta dan harus berjuang untuk memperoleh tempat tinggal yang baru. 


Orang tuaku sempat mencoba untuk tinggal di Kawasan Adat Ammatoa Kajang namun hanya bertahan sekitar 3 bulan karena kondisi di tempat itu tidak sesuai dengan keyakinan orang tuaku. Orang di kawasan adat Kajang menganggap bahwa shalat tidak perlu terikat dengan gerakan-gerakan tapi terkenal dengan istilah “je’ne tammaluka, sambayang tammattappu’” ---wudhu yang tidak pernah batal, shalat yang tidak pernah terputus atau terhenti---. Menurut anggapan mereka, tidak perlu melakukan ritual gerakan shalat intinya adalah zikir (mengingat) Allah dalam setiap aktivitas dan cukup sekali wudhu maka itu tidak akan batal sampai kapan pun. Walau sebenarnya mereka tidak mengintervensi orang tuaku dalam hal keyakinan tetapi pernah sekali Ayahku dipaksa minum “tuak: minuman keras dari aren” tetapi Ayahku menolak. Sejak saat itu kehidupan keluargaku tidak pernah tentram. Akhirnya di “subuh buta” dengan digendong Ibuku, kami meninggalkan tempat itu. 


Tujuan kami adalah Desa Tibona sesuai dengan cerita awal tadi. Rumah di tempat ini masih sangat jarang dan jaraknya saling berjauhan sehingga praktis aku tidak punya teman bermain. Awal-awal aku di tempat ini dikaruniai adik tetapi umurnya hanya sekitar satu tahun dan aku harus sendiri lagi. Di tempat inilah aku menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar di SD 68 Tibona. Setiap hari berangkat sekolah menyeberangi sungai dan hutan kopi yang ketika datang musim berbunga baunya sangat harum tetapi bisa menyebabkan flu. Sesekali bertemu kawanan babi hutan, tetapi semua seakan menjadi teman. Hanya saat kelas 1 aku sering diantar Bapak, namun setelah itu aku sudah berani berjalan sendiri. Awal masuk sekolah sampai sekitar kelas 3 menjadi hari tersulit karena aku belum bisa bahasa Bugis (bahasa di tempat ini) karena aku terlahir di komunitas bahasa konjo. Tetapi di sekolah aku tergolong cerdas karena selalu rangking I sejak kelas II. Aku hanya mendapatkan keceriaan ketika di sekolah dengan teman-teman dan harus sendiri lagi kalau sudah kembali ke rumah. Tetapi aku bisa belajar dengan tenang ditemani pelita kecil yang ketika bangun pagi harus bersihkan hidung karena pelita itu menyisakan kerak di sana. Orang tuaku hanyalah petani serabutan. Mengelola lahan orang lain dan memperoleh bagian setengah dari lahan yang dikelola. Sangat memprihatinkan.


Saat aku duduk di kelas VI, aku kembali dikaruniai adik perempuan yang saat ini sudah SMP dan sebentar lagi masuk SMA. Tetapi adikku tidak terlalu merasakan pahitnya hidup seperti yang kurasakan kalaupun dia merasakan maka dia belum mampu mengingat karena saat itu dia masih sangat kecil dan aku berdoa semoga itu tidak akan pernah adikku rasakan.


Di desa ini, terdapat sebuah sekolah SMP, saat aku lulus SD orang tuaku menganjurkan untuk sekolah di situ. Tetapi saat itu pikiranku sudah mulai terbuka dan menatap jauh ke depan. Aku berpikir tidak akan bisa maju kalau terus berada di tempat ini, apalagi dengan kualitas SMP itu yang tidak terlalu bagus. Maka aku meminta kepada orang tuaku untuk melanjutkan SMP di Kecamatan Herlang (tanah kelahiranku) yang lebih maju dibanding kediamanku saat itu dan menumpang di rumah tanteku. Orang tuaku mengizinkan tetapi aku harus berangkat sendiri, karena adikku masih kecil dan tidak bisa ditinggal. Jarak dari Tibona ke Herlang sekitar 50 km yang harus ditempuh dengan dua kali pindah kendaraan umum. Aku memberanikan diri demi masa depan, dan itulah pertama kalinya aku naik kendaraan umum sendiri.


Akhirnya aku sekolah di SMP Negeri Batuasang (sekarang SMP Negeri 2 Herlang), dan tidak lama setelah itu orang tuaku menyusul dan meninggalkan Desa Tibona tetapi kebun kami masih ada di sana yang setiap tahun menghasilkan buah-buahan yang menarik untuk dikunjungi, bahkan kadang rindu untuk kembali ke sana. Tetapi sejak SMA bahkan kuliah, aku sangat jarang berkunjung ke sana apalagi sekarang aku semakin jauh. Hanya Bapak yang sesekali menjenguk kebun itu. Tetapi orang tuaku tidak ingin menjualnya entah dengan alasan apa.


Sungguh masa kecil yang sengsara. Tapi Tuhan memperlihatkan keadilan dengan sedikit memperbaiki taraf hidup keluargaku termasuk berhasil membuat aku menjadi sarjana walau harus meniti karrier jauh dari mereka. Adakah orang tua yang sebaik itu?


***Terima kasih Adhi, kau membangkitkan keinginanku untuk menulis ini di blog tersayang***

0 komentar:


Posting Komentar